Kami terkejut saat seseorang menyebut angka Rp 5 juta untuk jasanya memenuhi keinginan kami menuju Long Apari, sebuah kampung paling ujung di Kalimantan Timur.
Saat itu, pekan lalu, kami baru saja tiba di Tiong Bu'u, Kecamatan Long Apari, Kabupaten Mahakam Hulu.
Ces (sampan bermotor katinting khas orang Dayak) yang mengantar kami dari Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Long Apari. "Terlalu beresiko," ujar Jiuq, motoris Ces dari Datah Suling, Long Isun.
Seminggu telah lewat, saat Kompas.com bersama penulis buku Kuping Panjang Ati Bachtiar, fotografer travel Ebbie Vebri Adrian dan pelancong wanita Ria Basoeki menyambangi kampung-kampung di sepanjang aliran sungai Mahakam bagian hulu.
Kami ditemani pemandu asal Dayak, Claudia Sarita Naning. Keinginan merekam generasi terakhir perempuan Dayak berkuping panjang membawa kami menempuh perjalanan beribu kilometer hingga ke ujung sungai Mahakam.
Sungai yang sebagian besar kampung di tepinya dihuni suku Dayak itu telah menjadi urat nadi pergerakan masyarakat yang hidup bergantung dari aliran airnya.
Aliran airnya itu pula yang menentukan lancar tidaknya arus transportasi dari Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur hingga ke berbagai pelosok di pedalaman.
Akses lewat darat yang mulus masih sebatas mimpi panjang warga Mahakam Hulu. Sementara, semua suplai kebutuhan pokok bergantung dari Samarinda.
"Jika air sedang pasang, karena ada banjir, perjalanan akan sangat berisiko karena banyak kayu hanyut yang sewaktu-waktu menghantam speed boat. Sementara kalau sedang surut saat kemarau, speed boat tidak bisa jalan, karena bisa menabrak batu," kata Alex Tekwan, pemilik speed boat Irari yang melayani rute Long Bagun hingga ke Tiong Ohang.
Risiko dari ketinggian permukaan air sungai Mahakam itu yang bisa berubah setiap saat membuat biaya transportasi sungai ke Mahakam Hulu menjadi sangat mahal.
Setelah mencari informasi di sana-sini, kami akhirnya bersepakat menggunakan ces yang lebih besar dengan mesin katinting 31 PK. Kami mendapat setengah harga, Rp 2,5 juta setelah bernego cukup lama, dan mengutarakan keinginan kami untuk sebuah pendokumentasian.
Namun bagi warga Long Apari, tidak ada pilihan lain kecuali menerima kondisi ini apa adanya.
Perjalanan menegangkan
Ces yang dikemudikan oleh Mansyah (29) dan Belareq (23) secara
bergantian itu bertolak dari Tiong Bu'u pukul 12.00 WIB dan menempuh
perjalanan selama 3 jam.
Ces itu hanya bisa memuat 5 penumpang yang duduk saling berdesakan tanpa bisa bergerak leluasa.

Sementara perjalanan yang ditempuh harus melewati beberapa riam. Arus
yang berputar di beberapa riam serta gelombang yang ditimbulkannya
memaksa Mansyah dan Belareq harus cekatan dan tepat mengemudikan ces.
Hilang konsentrasi atau terlambat sedikit, ces bisa terbalik dan akan fatal bagi penumpangnya.
Di salah satu riam yang diberi nama Riam 611 kami diminta turun,
karena selain arusnya yang cukup kuat, ombaknya juga besar serta tidak
beraturan. Motoris harus yakin motor katinting kuat mendorong ces
melewati riam upstream ini.
"Riam ini dinamakan sesuai dengan nama Batalyon Infanetri 611 yang
kala itu menjaga Pos Perbatasan di Long Apari. Waktu itu, anggota TNI yang melewati riam ini, perahu mereka terbalik dan satu anggotanya hilang diseret arus," jelas Mansyah.
Setelah yakin dengan jalur yang dipilihnya, Mansyah lalu memacu ces
miliknya dengan kecepatan penuh menghadang arus yang turun serta
hantaman ombak. Ces yang mereka kemudikan sempat terbang dan mendarat
dengan selamat.
Perjalanan lalu dilanjutkan ke Long Apari hingga kami tiba pukul 15.00 WIB.
Walau perjalanan cukup ekstrem namun pemandangan di sepanjang rute
yang dilewati sangat memesona. Beberapa dinding batu karst seakan
menjadi benteng di tepi sungai. Hutan yang masih cukup terjaga juga
menjadi bagian dari perjalanan menarik.
Long Apari adalah sebuah kampung paling ujung yang berbatasan dengan
Malaysia. Di kampung ini dibangun Pos Pengamanan Perbatasan RI-Malaysia
yang dijaga oleh 16 prajurit TNI.
Long Apari dihuni oleh 158 kepala keluarga yang terdiri dari 602 jiwa. Mereka merupakan sub suku Dayak Penihing Ahoeng.
"Kami sangat jarang kedatangan orang kabupaten. Nanti kalau masa
kampanye baru mereka datang," ujar Anyeq (42), seorang pedagang di Long
Apari.
Jika lagi normal, saat air sungai normal, bensin berharga Rp 25.000
per liter, gula pasir Rp 20.000 per kilogram, semen Rp 400.000 per zak.
Namun jika air sedang surut atau banjir, harganya bisa dua kali lipat.
"Tidak ada dokter di sini, yang ada hanya puskesmas pembantu yang
dijaga perawat dan bidan. Jadi jika sakit berat kami harus ke Tiong
Ohang atau ke Ujoh Bilang," keluh Anyeq.
Dari Samarinda
Mahakam Hulu adalah sebuah daerah otonom baru di Kalimantan Timur.
Kabupaten ini dimekarkan dari kabupaten induknya Kutai Barat pada
Desember 2012.
Memiliki luas 15.314 kilometer persegi, wilayah Mahakam Hulu berada
di sepanjang pesisir sungai Mahakam bagian hulu. Karena berada di
sepanjang sungai Mahakam yang memiliki panjang 920 kilometer itu,
transportasi utama warga di kabupaten dengan 5 kecamatan ini adalah
transportasi air.
Dari Samarinda, akses dapat dilakukan dengan dua cara, yakni
menggunakan taxi air atau pesawat terbang. Jika menggunakan taxi air,
warga harus menghabiskan waktu selama sehari-semalam sampai di Melak,
Kabupaten Kutai Barat, lalu semalam lagi ke Ujoh Bilang, ibu kota
Mahakam Hulu.
Dan dari Ujoh bilang menuju ke kampung-kampung lainnya dapat menggunakan speed boat atau long boat dengan tarif yang sangat mahal.
Penerbangan dari Samarinda ke Bandara Datah Dawai di Long Lunuk,
Kecamatan Long Pahangai, sangat terbatas. Saat ini hanya ada satu
maskapai milik Susi Air dengan pesawat tipe propjet. Itu pun hanya dua
hari sekali, dan sekali jalan hanya mampu mengangkut 12 penumpang.
Rute sungai dari Ujoh Bilang atau Long Bagun ke kecamatan-kecamatan di bagian hulu adalah perjalanan yang cukup berisiko.
Hanya motoris terlatih dan bisa melewatkan speed boat atau long boat
di riam-riam ganas seperti Riam Udang dan Riam Panjang. Risiko itu
membuat tarif sekali angkut penumpang bisa mencapai Rp 500.000, belum
termasuk barang bawaan.
Jika pada saat air pasang, tarif carter speed boat bisa
mencapai Rp 22 juta untuk sekali jalan. Sementara di sepanjang sungai
Mahakam bagian hulu, ces menjadi transportasi utama dari kampung ke
kampung.
Ces ini juga digunakan untuk mencari ikan, mengangkut hasil ladang dan berbagai keperluan lainnya.
Walaupun hidup dengan akses transportasi yang sulit, namun warga
Mahakam Hulu mampu eksis dan hidup dengan tekad mempertahankan tradisi
dan budayanya.
Mendatangi Mahakam Hulu adalah sebuah perjalanan menyaksikan pesona Indonesia yang kaya dengan alam dan budayanya.